Sabtu, 07 Mei 2011

IDENTIFIKASI PENINGKATAN KINERJA GURU MELALUI SERTIFIKASI

Seperti yang sudah dijanjikan oleh pemerintah, bahkan oleh Presidennya sendiri, yaitu Bapak SBY pada waktu hari ulang tahun PGRI beberapa tahun yang lalu, sekarang sudah menjadi kenyataan, yaitu tentang remunerasi PNS, khususnya guru sudah dipenuhi melalui tunjangan sertifikasi sebesar satu kali gaji, tentu remunerasi ini merupakan hal yang sangat menggembirakan bagi PNS pada umunya dan bagi guru di Indonesia pada khususnya, seiring dengan meningkatnya berbagai macam kebutuhan, tidak berhenti disitu saja guru di Jakarta oleh Pemda DKI juga diberi sejumlah tunjangan intesif yang lebih dikenal dengan TKD ( Tunjangan Kinerja Daerah ) yang nominalnya disesuaikan dengan masa kerja golongan. Itulah sebabnya, maka pada saat sekarang ini kinerja guru menjadi sorotan publik, apakah dengan diberikannya tunjangan dan perubahan remunerasi ini akan berdampak terhadap makin meningkatnya prestasi belajar para siswa pada semua strata pendidikan? atau malah sebaliknya. Masalah ini menjadi perhatian publik, seperti yang dimuat pada surat kabar harian Kompas yang terbit pada tanggal 7 / 5 / 2011 ditulis oleh Y. Nugroho Widiyanto, yang mengemukakan bahwa pada prinsipnya akuntabilitas guru dapat dilihat dari empat pilar, seperti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Guru. Empat pilar yang dimaksud adalah : Pertama, kemampuan profesional. Pada era teknologi informasi & komunikasi saat ini guru tidak lagi ditempatkan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, karena sumber pengetahuan dapat diakses dari berbagai multimedia yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh siapapun dan kapanpun jadi dalam hal ini guru dipacu untuk dapat memanfaatkan berbagai media sebagai penunjang pengetahuannya yang akan disajikan kepada anak didik, dengan demikian tidak ada lagi alasan bagi seorang guru untuk tidak menguasai pelajaran. Guru bukan sebagai titk sentral dalam penyelenggaraan belajar mengajar, namun sebagai motivator bagi anak didiknya untuk dapat memanfaatkan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi sebagai media pembelajaran yang sangat diperlukan. Disini posisi guru diharapkan tidak mendominasi kreatifitas siswa, sehingga dalam meng explore pengetahuannya,  siswa mendapatkan waktu yang cukup untuk berinovasi dan tantangan baru yang mendorong rasa keingintahuannya. Ironisnya menurut Laporan Bank Dunia pada tahun 2010 menunjukkan bahwa para guru yang di tes mata pelajaran yang diajarkan mendapat nilai rata-rata 50, ini menunjukkan bahwa tingkat penguasaan bagi guru terhadap materi yang diajarkan kepada siswanya hanya sekitar 50 persen, walaupun ada diantara merekan yang mendapat nilai lebih dari itu. Bila dikaitkn dengan kondisi sekarang, kompleksitas ilmu pengetahuan semakin tinggi, baik tingkat kesulitan maupun akurasinya, ini tentu menuntut adanya suberdaya guru yang betul-betul dapat berimprofisasi terhadap keilmuan yang diampu dan bermuara kepada siswa. Sekolah mestinya juga harus jujur terhadap prestasi guru maupun siswa berkaitan dengan penguasaan kebahsaan yang menjadi kata kunci dalam aktifitas berkomunikasi, seperti bahasa Inggris misalnya, ternyata tingkat penguasaan bahasa Inggris bagi guru yang mengajar di sekolah berstandar internasional ( SBI, RSBI ) masih perlu ditingkatkan, karena bahasa merupakan sarana komunikasi penting dalam analisis dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua : kemampuan pedagogis, dalam masalah ini kerja sama antara guru dengan kepala sekolah tidak bisa dipisahkan, karena pada dasarnya visi dan misi sekolah merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh komunitas satuan pendidikan atas dasar mempertahankan nilai-nilai luhur yang menjadi fokusnya, yang diharapkan nantinya akan menjadi budaya sekolah. Dalam mencapai visi, misi sekolah tentunya harus ada perencanaan strategi yang matang, sehingga ada semacam mutualisme symbiosis antara pihak guru dengan kepala sekolah. Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakharmonisan hubungan kerja antara guru dengan kepala sekolah mestinya tidak perlu terjadi. Namun kenyataannya masih banyak terjadi hal yang demikian. Kepala Sekolah pada umumnya jarang ada di tempat ( sekolah ), apalagi kepala sekolah yang tergabung dalam komunitas penerbitan buku, hampir setiap hari sulit ditemui, karena kesibukannya sangat menyita waktu, akibatnya supervisi guru yang mestinya dilakukan oleh kepala sekolah secara terjadwal dan terencana terabaikan, sehingga program-program yang telah disusun oleh guru dalam kaitannya tugas dan fungsi kerja guru tidak terarah pada visi dan misi sebagai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Sabtu, 23 April 2011

SEKOLAH SEBAGAI PENYEMAI KEJUJURAN & PERADABAN

Akhir-akhir ini dapat kita saksikan betapa hiruk pikuk perpolitikan di Indonesia mempertontonkan perilaku individu maupun golongan yang tidak mencerminkan perilaku yang dapat dicontoh oleh generasi muda, dalam arti generasi yang saat ini masih menempuh pendidikan pada level sekolah menengah, perbuatan yang demikian dampaknya sangat luas dan cepat menyebar di kalangan masyarakat luas. Salahsatu contoh nyata yang dapat kita saksikan melalui media elektronik ( TV ) adalah seorang anggota DPR yang kita hormati menonton film biru ( Blue Film ) saat sidang dimulai, dan ini di-ekspos oleh media, sehingga sampai pelosok tanah air mengetahui semua. Kita bisa bayangkan, sebagai seorang yang menyandang gelar " Anggota Dewan Yang Terhormat" mempertontonkan perilaku yang demikian ? Sedangkan gaji yang mereka terima berasal dari rakyat. Lantas pertanyaannya adalah, mau dibawa kemana negara ini ? Bagi rakyat cara berpikirnya sangat sederhana, orang yang terpilih sebagai anggota DPR bukan sembarang orang, artinya adalah orang yang mempunyai banyak kelebihan dibanding orang lain, sehingga mereka layak untuk diberi label "Anggota Dewan Yang Terhormat ". Kita semua berharap perilaku yang tidak pantas sebagai orang yang dihormati ini tidak sampai dicontoh oleh siswa / siswi, khususnya di wilayah DKI Jakarta, yang notabene merupakan salahsatu barometer peradaban Indonesia. Pertanyaannya adalah, kalau orang yang menjadi representasi bangsa saja perilakunya seperti itu, lantas bagaimana untuk generasi penerus bangsa ini ke depan ? kita menyadari bahwa suatu peristiwa apapun kalau sudah ditayangkan di TV dampaknya sangat cepat sekali tersebar ke seluruh pelosok tanah air. Masalahnya adalah, bahwa bagi masyarakat Indonesia TV merupakan salahsatu media yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, mulai presiden sampai gelandangan yang tempat tinggalnya di bawah kolong jembatan. Itulah sebabnya bagi pejabat harus hati-hati memberikan pernyataan di depan publik atau mengakses berita dari internet, salah sedikit akan berakibat fatal. Kita memaklumi, bahwa cepatnya perkembangan informasi menuntut adanya kesiapan mental dan spiritual masyarakat sebagai user-nya, sedangkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan kelihatannya masih belum siap menerima kenyataan ini, akhirnya dapat kita saksikan banyak masalah-masalah yang muncul sebagai akibat norak- nya menggunakan fasilitas yang tersedia dalam sistem teknologi informasi tersebut. Sebagai contoh adalah face book, HP, Internet dan sebagainya. Di satu sisi sarana tersebut merupakan salaahsatu media yang diperlukaan dalam kaitannya aktivitas keseharian yang mengacu pada efisiensi waktu, namun pada sisi yang lain dampaknya kurang dapat mengarah pada hal-hal yang bersifat negatif, baik untuk tataran anak-anak maupun orang dewasa, bahkan dapat membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Hal ini dapat kita saksikan ketika pemakai HP sambil berkendara tanpa mempedulikan pengendara yang ada di sekitarnya, bahkan sampai kepolisian-pun mengeluarkan perundangan yang mengatur itu. Dampak yang lebih negatif lagi adalah kian meningkatnya kriminalitas di ibukota sebagai akibat tayangan dari multimedia, baik internet maupun TV yang sangat meresahkan masyarakat. Pada dasarnya kita lupa, bahwa sejujurnya sebagaian besar dari kita masih belum siap untuk dihadapkan pada perkembangan teknologi canggih yang ada di sekitar kita dan berlangsung secara terus menerus tidak akan mungkin dapat kita hindarkan. Dunia pendidikan-pun sangat resah dengan perilaku para siswa yang semakin tidak mengenal batas kesopanan, mulai dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Oleh karenanya, maka yang perlu harus kita sikapi adalah ketahanan moralitas dan spiritualitas perlu ditingkatkan, agar mampu menangkal pengaruh negatif sebagai dampak lajunya perkembangan teknologi informasi.

PERAN DEPARTEMEN AGAMA
Dalam segi pendidikan spiritualitas, para siswa mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi tetap diberikan materi pelajaran Pendidikan Agama sesuai dengan yang dianut oleh para siswa itu sendiri, maka hal ini penting artinya untuk menanamkan dan memperkenalkan diri, bahwa manusia pada dasarnya adalah sebagai makhluk Tuhan yang lemah dan saling menergantungkan satu dengan yang lain. Tidak ada manusia yang "super" di dunia ini, kesadaran itu diharapkan tertanam kuat pada diri siswa sampai kapan-pun, sehingga toleransi sesama manusia dengan tanpa melihat latar belakang agama, suku dan ras dapat terjalin secara harmonis. Berkaitan dengan hal terssebut Departemen Agama mempunyai peran penting dalam kaitannya meningkatkan pendidikan spiritualitas bagi para siswa, karena Guru agama di sekolah-sekolah berasal dari pendidikan khusus keagamaan di bawah Departemen Agama. Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Prof. DR. Azumardi Azra, MA di Metro TV beberapa hari yang lalu, bahwa pada prinsipnya generasi muda sekarang kurang pemahamannya tentang toleransi beragama & wawasan kebangsaannya, sehingga mudah terbawa oleh aliran sesat yang membahayakan, seperti bom bunuh diri, bom buku, teroris dsb, hal ini terjadi karena minimnya pemahaman tentang keagamaan. Sehubungan dengan hal tersebut diharapkan peran dari dua depertemen, yakni ( Depdiknas dan Depag) mampu meningkatkan perannya dalam kaitannya menyemaikan kejujuran dan peradaban kepada para siswa melalui pendidikan, bilamana hal ini tidak segera dimulai dari sekarang dikhawatirkan akan sangat membahayakan di kelak kemudian hari dan hal ini sangat bertentangan dengan falsafah kita Pancasila. Kejujuran sudah terabaikan, peradaban telah terkikis, perilaku manusianya sudah terbiasa menabrak rambu-rambu dan nilai luhur para pendiri bangsa, lembaga pendidikan formal semakin tak berdaya lantas ke arah mana perahu besar yang bernama Indonesia ini akan terbawa? entahlah !!! hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa kita serahkan segalanya.  

Jumat, 22 April 2011

KIAT MENGHADAPI UN 2010 /2011

Seperti pada tahun sebelumnya, setiap dilaksanakannya event ujian, entah apa itu namanya ( Ebtanas, Ujian Nasional ) dsb, para siswa selalu dihadapkan pada keadaan yang kurang mengenakkan, bahwa seolah-olah ujian bagaikan monster yang menakutkan. Padahal event ujian hanyalah kegiatan yang secara rutin dilaksanakan oleh sekolah sebagai realisasi dari Undang-undang Sisdiknas dan juga sebagai bentuk pertanggungjawaban satuan pendidikan, oleh karenanya diharapkan partisipasi semua fihak untuk tidak mempolitisir penyelenggaraan UN tersebut, sehingga para siswa tidak bersikap apatis dalam menghadapinya.
Kritik dan saran untuk perbaikan demi penyelnggaraan yang lebih adil untuk semua daerah tentu sangat diperlukan agar dengan UN tersebut bukan hanya penentuan lulus dan tidak lulus bagi para siswa menurut strata pendidikannya, namun juga dapat dijadikan sebagai evaluasi bagi satuan pendidikan dan pihak sekolah dan pada tataran yang lebih luas yaitu tingkat Kementerian Pendidikan Nasional, masih layakkah kurikulum yang diberlakukan saat ini ? mengingat lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat yang berdampak pada budaya dan perilaku bangsa seluruh dunia. Sedangkan pengaruhnya di dalam negeri sendiri dapat kita saksikan sehari-hari. Itulah sebuah pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban. Faktanya memang dapat kita lihat bahwa kurikulum yang diberlakukan saat ini diistilahkan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ( KTSP ), namun itu hanyalah sebagai cara untuk menyiasati penerapan otonomi daerah, dengan logika berfikir,  bahwa tidaklah mungkin diberlakukannya kurikulum pendidikan yang sentralistik, karena potensi sumber daya alam ( SDA ) dan sumber daya manusia ( SDM ) setiap daerah berbeda. Diharapkan dengan KTSP tersebut nantinya dapat dihasilkan kualitas SDM yang andal dipunyai setiap daerah dan mampu mengoptimalkan SDA yang ada di daerah masing-masing dan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah ( PAD ). KTSP dalam penerapannya masih ada beberapa kendala terutama penyebaran SDM  Guru yang belum merata, baik pendidikan minimal yang dipersyaratkan maupun bidang studi yang diampu, dengan demikian masih diperlukan waktu untuk penataannya. Demikian halnya dalam pelaksanaan Ujian Nasional ( UN ) wajar kalau masih ada beberapa sekolah yang siswanya belum siap menghadapinya, salahsatu diantaranya adalah rekruitmen guru yang dipersiapkan oleh sekolah yang bersangkutan kemampuan dalam memecahkan permasalahan soal -soal ujian masih perlu ditingkatkan. Sedangkan dari fihak siswa sendiri kurang termotivasi dalam mengerjakan soal-soal latihan yang dibimbing oleh para guru sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, bahkan ada perasaan jenuh menghadapi soal latihan tersebut, hal ini terlihat ketika tambahan jam belajar diberlakukan untuk siswa yang akan menghadapi ujian nasional ( Kelas IX untuk SMP dan Kelas XII untu SMA ). Pihak sekolah pada umumnya dan guru pada khususnya harus mampu memberikan semangat dan dorongan kepada para siswa untuk senantiasa berjuang habis-habisan dalam menjawab soal-soal ujian nasional tersebut, agar mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan.
Itulah gambaran secara umum menyikapi ujian nasional, baik bagi sekolah, guru dan siswa, tak terkecuali di SMP Negeri 70 dalam menghadapi UN SMP yang pelaksanaannya pada tanggal 25 / 4 / 2011 sampai 28/ 4 / 2011, sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dengan berbagai metoda, agar tingkat kelulusannya mencapai 100%. Metoda yang dimaksudkan adalah : Pertama penambahan jam belajar, khususnya siswa kelas IX, waktu belajar ditambah 2 x 60 menit setelah bel pulang selama 4 x seminggu selama 2 bulan termasuk uji kompetensi siswa berkaitan dengan bidang studi yang di ujian nasionalkan dan hasil prestasi yang dicapai oleh setiap siswa disosialisasikan kepada orang tua siswa. Kedua, dari prestasi yang telah dicapai oleh setiap siswa kemudian dibentuklah kelas sesuai dengan tingkat prestasi dari siswa yang bersangkutan, kemudian dievaluasi prestasi belajarnya, sehingga akan lebih mudah memonitor tingkat kemajuan belajarnya. Namun ada satu hal yang mungkin masih perlu dilakukan oleh SMP Negeri 70 dalam kaitannya mengoptimalkan prestasi belajar siswa, yakni dengan menganalisis jawaban dengan berbagai metode misalnya dengan metode belah dua ( split half ), SPSS, Excel, Anates dan sebagainya sehingga cukup alasan bagi sekolah untuk memberikan latihan lebih fokus pada materi yang masih belum dapat dikuasai oleh siswa, dan pada saat diujikan materi pelajaran yang di UN kan betul-betul dalam pengawasan yang intensif, sehingga hasil analisisnya tidak cenderung bias, karena dengan pengawasan yang terlalu longgar  akan berakibat pada tidak tepatnya pengambilan keputusan dari pihak sekolah yang pada akhirnya selain kurang termotivasinya belajar siswa juga pelaksanaan selama jam belajar tambahan akan mubasir yang muaranya pada hasil akhir yang tidak memuaskan, baik bagi sekolah maupun bagi stake holder. Pembagian kelas sesuai dengan tingkat prestasi siswa ketika latihan ujian ( try out ) sudah tepat, namun harus disertai dengan analisis yang cukup mendalam perlu dilakukan oleh sekolah, bukan hanya hasil dari scanning komputer saja, yang kemudian dikaitkan dengan materi pembelajaran yang di UN kan, pokok bahasan mana yang masih perlu dijelaskan kepada siswa ? berapakah prosentase siswa yang belum tuntas ? kalau perlu dicari apa penyebabnya dan diskusikan dengan guru yang memberikan materi pada saat itu. Hal ini akan lebih tepat dilakukan oleh pihak sekolah, diharapkan jangan sampai menyinggung perasaan guru yang bersangkutan, satu hal yang paling penting adalah intinya pada saat diadakan analisis dan evaluasi harus obyektif dan transparan berfokus pada pelaksanaan peningkatan prestasi belajar yang lebih baik. Namun kondisi dunia pendidikan pada era globalisasi seperti sekarang ini dengan jujur dapatlah kita katakan semakin tidak fokus pada satu sasaran yang tepat untuk mencapai satu tujuan yang telah ditetapkan sebagai misi dari pemerintah, terlebih lagi setelah diberlakukannya desentralisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Ranah pendidikan yang mestinya mengacu pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia berkaitan dengan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, seiring dengan otonomi daerah menjadi taruhan " gengsi " seorang kepala daerah ( gubernur), sebagai contoh nyata adalah, seorang gubernur akan merasa tidak berhasil apabila daerah yang menjadi tanggungjawab kepemimpinannya banyak siswa mulai dari SD sampai SLTA yang tidak lulus. Dengan demikian gubernur bersama dengan kepala dinas terkait selalu mencari cara bagaimana, agar siswa dapat mencapai prosentase kellulusan yang maksimal, bahkan ada beberapa sekolah untuk mengatasinya melakukan cara-cara yang tidak terpuji dan cara seperti ini justru akan menghancurkan masa depan anak didik itu sendiri yang pada akhirnya berdampak pada masa depan pendidikan di Indonesia. Yang patut dipertanyakan adalah, setiap event Ujian Nasional ( UN ) dilaksanakan, pastilah gubernur akan memberikan statement justifikasi mengenai tingkat kelulusan siswa. Mestinya orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan yang layak memberikan prediksi tingkat kelulusan para siswa, karena mereka lebih mengetahui kondisi prestasi para siswanya. Gubernur sebagai orang yang bertanggungjawab tentang keberlangsungan penyelenggaraan proses belajar mengajar mestinya menyadari, bahwa statement justifikasi tingkat kelulusan yang telah diucapkan di media cetak atau pun media elektronik sangat berpengaruh terhadap kinerja guru atau yang lebih luas Dinas Pendidikan, kenapa terjadi hal demikian ? Jawabannya adalah Dinas Pendidikan beserta guru merasa tertekan dengan justifikasi tingkat kelulusan tersebut yang pada akhirnya di fihak sekolah akan menempuh berbagai upaya, agar siswanya dapat lulus dalam ujian tersebut. Kenapa demikian ? jawabannya adalah, bahwa Kepala Dinas & Kepala Sekolah akan kena sanksi " mutasi ", bila banyak di antara siswanya yang tidak lulus dalam Ujian Nasional.